Cahaya

Advertisement

HIDUP itu tak selalu seperti yang kita maui. Sering melenceng. Program sudah dirancang matang, misalnya, tahu-tahu berubah total. Alam berkehendak lain. Jika sudah begitu, tak perlu menyalahkan orang lain. Apalagi sampai menyumpahi segala. Orang bijak sering memberi petuah, "Diam lebih bijaksana."

Sebab di dalam diam itu ada perlawanan diri. Diam itu mengendalikan rangsangan, dan setelah itu jadi kekuatan. Kita digiring menjadi lebih hati-hati, tanggap, dan makin liat berjuang. Pepatah Hindu mengatakan, "Semakin kita mengejar kebahagiaan, justru ketidakbahagiaan itu yang kita temukan." Maka, ikutilah ke mana air mengalir.

Memang, di era kompetisi ini, tiap orang berubah jadi super-sibuk. Buntutnya bisa saling sikut atau depak. Juga berbantahan tentang kebenaran. Kita bisa tak peduli pada tangis atau tawa orang lain, sepanjang yang kita pikir menyampaikan kebenaran, walau sesungguhnya adalah fakta. Fakta itu sesuatu yang bisa diungkapkan dengan kata-kata, kebenaran tidak.

Kebenaran tidak dapat diucapkan dengan kata-kata. Ribuan kata terasa kurang untuk mengekspresikan dan meyakinkan apa itu "benar". Itu pula, antara lain, yang membuat seorang pedagang barang antik di Pondok Indah meyakini, "Tidak ada kebenaran yang absolut."

Beberapa waktu lalu, dia mengaku diundang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Istana Negara. "Datang lebih awal, ya, supaya tidak terlalu ramai," ujar kenalan dia yang bertugas di istana. Undangan itu disampaikan secara lisan.

Benar saja. Dia datang pakai jas, tanpa dasi. Maklum, beberapa kali dasi itu dipasang, selalu gagal. Maka, agar tak terlambat, dasi itu langsung disambar. Menjelang pintu pemeriksaan, barulah dia minta tolong seseorang yang diyakini sebagai pejabat karena ada emblem di dada. Ia percaya pada nalurinya, guru pembimbing paling setia.

"Pak, saya minta tolong dipasangkan dasi," kata dia. Yang dimintai tolong bingung. Memandang penuh selidik. "Bawa undangan?" tanyanya. Tidak. Faktanya dia tak punya undangan, kebenarannya adalah dia diundang. Maka, disebutlah nama si pengundang. "Kalau Bapak tak percaya, nanti setelah di dalam, ikuti saya. Tapi ikatkan dasi saya dulu,'' katanya.

Sang birokrat merasa didikte dan diperintah, ada semacam perlawanan diam-diam. Itu tercermin dari mimiknya. "Lho, Bapak ini orang pilihan. Orang yang terpilih membantu saya memasangkan dasi. Bapak justru yang mendapat pahala dari Tuhan," katanya. Si pejabat terpaku. Ucapan itu menggambarkan kesempitan dan kekerdilan lawan bicara. Tapi mungkin juga kata-kata itu benar. Hanya saja, caranya yang tak umum.

Walau tak pernah mempelajari fisiognomi (ilmu membaca sifat manusia melalui raut muka), mata batin si pedagang tak bisa dibohongi. Ia mampu membaca situasi. Selama ini, seseorang sering berada dalam situasi sulit lantaran ketidakmampuan membaca situasi. Buntutnya, soal kecil jadi besar dan melebar. Solusinya tak ketemu.

Begitulah. Akhirnya, semua berjalan lancar. Dia bisa melenggang ke Istana Negara, ketemu, dan diberi lambaian tangan oleh SBY. Bahkan bahu dia sempat ditepuk SBY. "Itulah hidup," cerita dia, sembari menunjukkan beberapa fotonya bersama SBY. Jadi, pikiran itu tak perlu dibuat kusut, dan jangan takut menghadapi hidup.

Hidup memang dihiasi ribuan masalah, dan jangan harap bisa tuntas terselesaikan semua. Pasti ada pernak-pernik yang tersisa. Namun, patut dicatat bahwa hidup adalah refleksi atau "pantulan" hidup itu sendiri. Ia bukan kebetulan, melainkan "gema" dari diri kita sendiri.

Pernah mendengar kisah anak yang berjalan di tebing atau lembah? Dulu, kita pun mengalami. Kala bocah itu menjerit, maka jeritan senada selalu mengikutinya. Anak itu heran. Rasa penasarannya timbul. "Hai, siapa kau?" teriak dia lagi. Lagi-lagi di kejauhan menyahut: "Hai, siapa kau?" Bocah itu mulai geram, dan timbul niatnya untuk mengejek: "Kau pengecut!" Suara di seberang menjawab sama: "Kau pengecut!"

Berhubung tidak menemukan jawaban dalam diri dia, bocah itu menengok ayahnya dan bertanya: "Ayah, sebenarnya apa yang terjadi?" Dengan bijak, orangtua itu mengatakan bahwa orang-orang menyebut pantulan suara itu sebagai gema.

Lalu orangtua itu melanjutkan bahwa sesungguhnya ada makna lain dari "gema" dalam kehidupan kita. "Ia akan mengembalikan padamu apa saja yang kaulakukan dan katakan. Hidup kita ini hanya refleksi dari tindakan kita," ujarnya.

Bila kita ingin mendapatkan lebih banyak ketulusan dan kasih sayang di dunia ini, maka berikanlah ketulusan dan kasih sayang dari hatimu. Bila kita ingin mendapatkan kebaikan dari orang lain, maka berikanlah kebaikan dari dirimu. Itu berlaku pada semua aspek kehidupan. "Hidup akan memberikan apa yang telah kamu berikan kepadanya," katanya.

Tentunya, semua itu butuh kesadaran. Kesadaran adalah kecerdasan murni. Sufi Pakistan, Inayat Khan, menulis, "Kesadaran adalah kecerdasan. Kecerdasan adalah jiwa; jiwa adalah ruh; dan ruh adalah Allah. Karena itu, kesadaran adalah unsur Ilahi; kesadaran adalah sisi Allah di dalam diri kita. Melalui kesadaran, kita menjadi kecil atau besar; melalui kesadaran kita jatuh atau bangun, melalui kesadaran kita menyempit atau meluas."

Tapi kecerdasan dan kearifan adalah dua hal berbeda. Tidak semua pengetahuan dari buku dan dari pengalaman, yang tersimpan di otak, adalah kearifan. Cahaya pengetahuan dari luar dan "cahaya" dari dalam diri, itulah yang membentuk kearifan. Dan, kearifan inilah yang menuntun manusia dalam jalur kehidupan sempurna.

Jadi, buat apa berkeluh kesah. Ada masanya terlambat, tersesat, atau melenceng dari rencana. Ada pula waktunya untuk tinggal, atau pergi!

Widi Yarmanto
[Esai, Gatra Edisi 24 Beredar Senin, 24 April 2006]

Artikel Lainnya

0 komentar

@KangdeBar Instagram

Like Facebook Page

Twitter